Minggu, 25 September 2016



Firasat mimpi seorang anak
Malam itu, aku dan ibuku akan pergi ke pasar Banjaran. Entah apa alasan ibuku pergi ke pasar tradisional itu malam-malam begini. Waktu menunjukkan pukul 19.00 dan gerimis membasahi jalanan utama yang gelap. Hanya ada sebuah lampu pijar tergantung pada sebilah bambu di sudut pertigaan jalan.

Seharusnya semua angkutan umum tak ada yang beroperasi. Tak ada mobil yang turun kembali ke kota. Apalagi rumahku itu terletak di kampung. Yang membuatku heran kenapa ibuku menunggu angkot, ratusan meter dari rumahku. Tepatnya di daerah Cidarangdan. Sementara rumah kami berada di Pasir Kadu. Harus melewati satu kampung lain agar mencapai Cidarangdan.

Tiba-tiba sebuah angkutan umum muncul dari arah menuju Banjaran. Sepertinya mau pulang dan itu adalah mobil terakhir.
“Bang, mau ke Banjaran lagi?” tanya ibuku.
“Tidak, Bu. Ini sudah malam. Tidak ada angkot lagi yang beroperasi.” jawab supir itu kemudian pergi meninggalkan kami. Seharusnya kami pulang naik mobil itu, tapi ibuku dan aku tetap diam di pinggir jalan.
Gerimis mulai membesar dan berubah menjadi hujan yang lebat. Tiba-tiba sekelompok pemuda seumuran denganku keluar dari sebuah rumah di belakang kami, mendekati dan menghalangi kami yang ingin berteduh. Ada empat orang laki-laki dan seorang pria yang seperti perempuan. Dilihat dari manapun memang wajahnya seperti lelaki namun rambutnya yang menutupi telinga itu seperti wanita. Mereka semua memakai jas hitam seperti orang kantor yang telah selesai Meeting. Sepertinya mereka adalah orang kaya.


Mereka bukan orang baik-baik. Seorang dari mereka membawa sebotol minuman keras dan nampak dari gerak-geriknya, mereka sedang mabuk. Aku dan ibuku ketakutan. Aku coba bicara baik-baik agar mereka membiarkan kami lewat. Hujan mulai membesar dan membasahi kami semua.
“Hey! Tenang saja. Mau kemana kau?!” sahut pria yang seperti perempuan itu.
“Sudah Vanz, hajar saja dia!” sahut temannya. Kemudian orang yang bernama Avanz itu membawaku jauh dari ibuku dan teman-temannya. Aku lihat ibuku sangat ketakutan dan orang-orang itu terus menggodanya.
“Hey! Tante mau kemana?” tanya seorang dari mereka sambil tertawa.
“Ibu! Apa yang akan kalian lakukan pada ibuku?! Lepaskan Ibuku! Jangan ganggu dia!” teriakku.
“Hey! Mau kemana kau?! Urusan kita belum selesai!” sahut Avanz menahanku sambil tersenyum. Kemudian dengan keras dia memukul perutku. Rasa sakit yang teramat sangat membuatku roboh dan tergeletak di jalanan.

Samar-samar dari balik tirai hujan yang menutupi pandangan, kulihat ibuku diperlakukan tidak pantas.
“Bajingan kalian!!!” aku menangis dan sangat marah. Aku mulai bangkit karena kemarahanku sudah mulai memuncak tak terkendali. Bayangkan saja itu adalah Ibuku sendiri. Aku tak sudi mereka memperlakukannya seperti itu.
“Sialan kau!!!” teriakku langsung menghajar pipi putih mulus lelaki itu dengan sekuat tenaga. Tapi dia balik membalas. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku yang terpenting itu tidak terjadi pada ibuku.

Kami saling hajar di bawah langit gelap malam itu. Dan disaat terakhir aku berhasil membuatnya roboh, segera, aku berlari mendekati mereka yang menahan ibuku.
“Lepaskan ibuku, Setan!!”
“Hey! Sialan anak ini! Ayo kita hajar dia!” mereka melepaskan ibuku.
“Ibu! Cepat lari! Cepat cari pertolongan, bu!” tanpa berkata apapun ibu langsung berlari menyusuri jalan raya itu menuju rumah kami yang masih jauh.

Mereka sedang mabuk. Seharusnya itu memberiku kesempatan yang besar untuk mengalahkan mereka. Sebelum kemarahanku mulai mereda, aku langsung menghajar mereka tanpa ampun. Aku berhasil menjatuhkan mereka semua dan segera menyusul ibuku yang baru menyampai sebuah Mesjid tak jauh dari tempat itu.
“Ibu tunggu!” sahutku. Tapi kemudian terdengar sesuatu melesat dari belakang dan mendorongku. Terdengar suara ’Dug!’ dipunggungku. Awalnya aku baik-baik saja, tapi kemudian suara itu kembali terdengar “Dug! Dug! Dug!” perlahan langkahku mulai terhenti dan aku pun jatuh tak berdaya. Sesaat sebelum aku mati aku tahu bahwa ada empat buah peluru menembus tulang belakangku dan aku tidak tahu kenapa aku tahu bahwa yang menembakku adalah lelaki bernama Avanz itu.
“Dani!!” teriak Ibuku menghampiriku. Suara tembakan itu terdengar lagi namun aku tidak tahu siapa kali ini yang ditembaknya karena aku telah menutup mataku. Mungkinkah ibuku?
“Dani! Dani! Bangun sudah siang!” kata ibuku membangunkanku dari tidurku. Aku membuka mataku. Aku lihat ibuku berada disamping tempat tidurku. Untunglah itu semua hanya mimpi. Aku langsung mengambil Hp disamping tempat tidurku dan melihat jam di dalamnya. Tapi ada yang aneh dengan Hp Nokia 6600-ku ini. Kaca di Casing bagian kamera Hp-ku itu menghilang dan ada lubang di sana.

Ketika aku akan menanyakan hal itu pada ibuku dan menegakkan tubuhku, rasanya sakit tulang belakangku. Seperti patah.
“Agghhh!!” geramku.
“Dani, kau tidak apa-apa?”
Aku menyentuh tulang belakangku dan akusangat terkejut. Ada lubang di tulang punggungku. Saat aku tekan kulit yang membungkus tulangku itu dengan jari tengahku, seperempat jari tengahku dapat masuk kedalamnya. Lubang itu sebesar peluru. Apakah ini tanda-tanda hal buruk akan terjadi? Seperti dalam mimpi itu? Aku sangat ketakutan. Bukannya aku takut mati tapi aku takut kalau ibuku yang mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar